Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah. Amma ba’du.
Dalil yang menunjukkan tentang kemaha tinggian Allah banyak sekali. Di antaranya adalah sebagai berikut :
Pertama; Penegasan bahwa Allah tinggi berada di atas Arsy
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “ar-Rahman bersemayam -tinggi dan menetap- di atas Arsy.” (QS. Thaha : 5)
Kedua; Penegasan bahwa Allah di as-Samaa’ (di ketinggian atau di langit)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah kalian merasa aman dari hukuman Dzat yang berada d iatas langit kalau-kalau Dia akan membenamkan kalian ke dalam perut bumi?” (QS. al-Mulk : 16)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidakkah kalian mempercayaiku, padahal aku adalah orang kepercayaan Dzat yang berada di atas langit. Datang kepadaku wahyu dari langit pagi dan petang?!”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sayangilah yang di bumi niscaya Dzat yang di atas langit juga akan menyayangi kalian.” (HR. Tirmidzi, hasan sahih)
Ketiga; Penegasan bahwa Allah berada di atas -fauqa-
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Mereka merasa takut kepada Rabb mereka yang berada di atas mereka.” (QS. an-Nahl : 50)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Arsy berada di atas air, sedangkan Allah berada di atas Arsy-Nya, dan Dia mengetahui apa pun yang terjadi pada kalian.” (HR. Abu Dawud, hasan)
Keempat; Persetujuan Nabi atas jawaban seorang budak muslimah
Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada seorang budak perempuan, “Di manakah Allah?”. Maka dia menjawab, “Di atas langit.” Lalu Nabi bertanya, “Siapakah aku?”. Dia menjawab, “Anda adalah utusan Allah.” Maka Nabi mengatakan, “Merdekakanlah ia, sesungguhnya dia adalah perempuan yang beriman.” (HR. Muslim)
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu mengatakan, “Sesungguhnya para imam yang empat telah sepakat mengenai ketinggian Allah di atas Arsy-Nya, tidak ada suatu makhluk pun yang menyerupai-Nya.”
[Disusun ulang dan diringkas dari Taujihat Islamiyah li Ishlah al-Fard wa al-Mujtama’, hal. 21-24]